Satu per
satu rambutku berjatuhan menyentuh lantai. Ini bukan karena aku mengidap
penyakit kanker yang mematikan. Ini karena aku sedang memotong rambutku di
sebuah salon di pinggir jalan kota kecil. Salon Ordina namanya. Di tempat ini
terlihat ada seorang laki-laki yang sedang menunggu seorang wanitanya sambil
membacakan koran pagi hari ini. Menurutku kedua orang ini sudah berumur 60 tahun.
Keduanya tampak tersenyum kepadaku. Memang, tak banyak usia remaja sepertiku
yang mengunjungi salon ordina ini. Banyak dari mereka yang lebih suka
mengunjungi salon yang lebih seusia mereka dan yang lebih mahal tentunya tapi itu
tidak berlaku untukku. Menurutku bisa memotong rambutku yang lebat ini dengan
harga yang relatif murah itu sudah cukup.
Aku menatap
diriku yang terpancar di cermin. Aku melihat satu per satu rambutku mulai
berjatuhan. Setiap helai rambut yang berjatuhan aku sungguh merasakan kenangan
selama rambut panjangku menetap di kepalaku. Dimana rambut ini tak pernah lepas
dari belaian seorang kekasih yang sangat aku cintai. Dimana rambut ini telah
menjadi saksi cinta kita berdua. Aku tidak pernah memotong rambutku ini karena dia tidak pernah mengijinkannya. Dan kini aku harus memotong rambutku yang
berarti satu per satu kenangan itu akan aku hapus dari kehidupanku. Sudah
saatnya aku memulai hari-hari baru di kehidupanku. Tak seharusnya aku selalu memikirkan
kenangan yang tak pernah kembali lagi. Tak mungkin aku meminta dia untuk bisa
hidup lagi di kehidupanku. Ya, dia kekasihku yang telah meninggal lima bulan
yang lalu karena penyakit yang di deritanya. Kanker.
Aku berdiri
dari tempat dudukku merapikan potongan rambut yang melekat di sekitar bajuku.
Rambutku sudah terpotong sebahu.
“Berapa bu?”
“10ribu mbak.”
“Maturnuwun nggeh bu.”
“Nggeh mbak sami-sami.”
Kakiku telah
melangkah jauh meninggalkan tempat salon itu. Langkah demi langkah kakiku menuju
sebuah tempat sunyi dimana semua orang yang berada disana hanya berbaring dan
sendirian.
Seikat bunga
mawar merah aku letakkan di dekat batu nisan bertuliskan Andrea Wibowo. Andrea
Wibowo, laki-laki yang sangat aku cintai yang kini sedang berbaring sendirian.
Dulu dia yang memberiku seikat mawar merah. Tak ada hari tanpa bunga mawar
merah. Namun sekarang keadaan berubah berbalik akulah yang kini setiap minggunya
memberikan seikat mawar merah. Walaupun tidak setiap hari aku mengunjungi
Andrea setidaknya aku setiap minggu mengunjunginya berbagi cerita kehidupanku dan
mendoakannya. Ku ucap banyak doa dalam bibirku ini. Memejamkan mata dan
menunduk. “Ya Allah terimalah amal ibadah laki-laki ini. Dan pertemukanlah aku
suatu saat nanti dengan laki-laki ini lagi. Amin.” Dengan doa yang masih
kuucapkan aku mengenang berbagai kenangan bersama Andrea. Tanpa terasa air
telah membasahi pipiku perlahan.
“Arina,
ternyata kau disini.”
Aku
tersentak. Dengan keadaan yang masih
terpenuhi dengan lamunan. Laki-laki ini datang menghampiriku dengan menepuk
bahuku. Aku berbalik melihat sosok laki-laki yang kini berada tepat di
belakangku.
“Angga.” Kataku
perlahan.
“Sudah mulai
maghrib Arina, cepatlah pulang. Tak baik seorang wanita di makam di sore hari
seperti ini. Pasti kakakku juga akan mengkhawatirkan keadaanmu.”
Aku berdiri
dan berada tepat di samping laki-laki itu. Dia memegang erat tanganku dengan
lembut. Tangannya terasa hangat dan membuat hatiku ini lebih terasa tenang dari
sebelumnya.
“Rambutmu
benar-benar kau potong sebahu Arina?”
“Iya Angga,
aku rasa sudah saatnya aku memutuskan ini. Sudah lima bulan Andrea
meninggalkanku dan sudah tiga bulan kau selalu bersamaku.”
“Jadi?”
“Iya, aku
mau jadi kekasihmu.”
Aku sandarkan
kepalaku di bahu Angga. Aku sudah merasa kelelahan dengan semua ini. Dan kini saatnya
aku berbagai kisah kehidupanku dengan Angga.
“Terimakasih
Arina. Aku harap kakakku tidak akan kecewa denganku karena wanitanya kini sudah
menjadi milikku.”
“Asal kau
selalu ada di sampingku, membuatku bahagia, dan tidak pernah meninggalkanku.
Andrea pasti tidak akan kecewa.”
“Aku sangat
mencintaimu Arina.”
Angga
mencium keningku begitu lama. Semua kasih sayangnya terasa begitu ada untukku.
Ya, kita masih di makam kita masih berada di dekat batu nisan Andrea. Biar ini
menjadi saksi untuk Andrea. Aku Arina rambutku sudah sebahu dan aku sudah
memulai hidup baru.
mantap ceritanya , , ,
BalasHapussalam kenall . . .
mapir ke blog q yaa . . .